Saiful Adhar
Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh, Aceh, Indonesia
Email : adharsaiful@gmail.com
Abstract
Lake eutrophication have impact on the ecology and aquatic systems, such as ecosystem degeneration, deterioration of water quality, phytoplankton blooming, and the depletion of dissolved oxygen, as well as mass death of aquatic species. The main component cause eutrophication is nutrients of phosphorus (P) and nitrogen (N). This paper assessed pollution sources of terrestrial ecosystem that been input of nutrients into aquatic ecosystem of Danau Laut Tawar. The lake is located at an elevation of 1,230 m above sea level, area of aquatic ecosystem is 5,742.10 hectares and water volume is about 538.84 million kilo liters. Area of terrestrial ecosystem is 14,803.22 hectares and 42 water catchment areas. The result of study indicated that inputs of nutrient P and N were dominated from terrestrial ecosystem. Total input of nitrogen is ranging from 178.7 to 182.6 tons/year, and phosphorus ranged 51.6 to 59.5 tons/year. Pollutant source areas of phosphorus and nitrogen are settlements and agricultural areas. Settlement areas could potentially provide input of nitrogen approximately 90.6 to 94.5 tons/year and phosphorus approximately 6.3 to14.2 tons/year of waste from population of 21.584 persons. Agricultural area that widespread 4,878.73 hectares potentially provide inputs of nitrogen approximately 88.1 tons/year and phosphorus approximately 45.3 tons/year.
Keywords : agricultural, blooming of phytoplankton, dissolved oxygen, settlements, water catchment area
PENDAHULUAN
Permasalahan yang sering ditemui di perairan danau adalah eutrofikasi, berupa pengayaan bahan organik dan mineral nutrien yang menghasilkan pertumbuhan berlimpah fitoplankton dan tumbuhan air lainnya, dengan penipisan oksigen dan kepunahan hewan air. Hal ini telah menjadi permasalahan global yang dialami oleh hampir semua danau dan waduk di dunia. Kondisi tersebut telah menggerakkan para ahli untuk melakukan pencegahan dan pengendalian proses eutrofikasi.
Eutrofikasi merupakan proses pengayaan nutrien dan bahan organik di perairan danau yang berpengaruh pada ekologi dan sistem akuatik (Tusseau dan Vuilleman, 2001), dimana ekosistem danau berdegenerasi yang mengakibatkan penurunan kualitas air (Xiaoying dan Shijie, 2006), sehingga menurut Wood (1975) dalam Connell dan Miller (2006) akan menyebabkan rangsangan suatu susunan perubahan simptomatik yang meningkatkan produksi ganggang dan makrofit.
Eutrofikasi berdampak buruk terhadap perikanan dan kualitas air serta mengganggu penggunaan air (Wood, 1975 dalam Connell dan Miller, 2006) disamping blooming fitoplankton yang mengakibatkan tekanan terhadap oksigen terlarut di perairan sehingga mengganggu aspek biologi fauna perairan. Menurut Afdal dan Riyono (2008) peningkatan nutrien ke level yang sangat tinggi menyebabkan ledakan populasi alga beracun, menurunnya konsentrasi oksigen terlarut dan merugikan biota perairan pada lapisan permukaan. Garno (2002) menyebutkan suplai oksigen hasil fotosintesa di perairan tersebut akan berhenti pada malam hari dan waktu tidak ada cahaya, sedangkan keperluan oksigen untuk respirasi dan degradasi partikel organik dan fitoplankton yang mati terus berlanjut.
Jika fitoplankton didominasi oleh blue green algae yang berlendir, anyir dan tidak bisa dikonsumsi oleh zooplankton maupun ikan (Garno, 2002) akan menyebabkan penumpukan fitoplankton di perairan. Sejumlah fitoplankton yang mati akan mengendap di dasar danau, sehingga menurut (Kumurur, 2011) danau yang bersih menjadi berlumpur. Kondisi ini menurut Xiaoying & Shijie (2006) akan mempengaruhi eksploitasi dan penggunaan sumber daya air, pembangunan ekonomi sosial dan pemelihara kelestarian lingkungan antropis.
Komponen utama yang menyebabkan eutrofikasi adalah fosfor dan nitrogen (Kleinman dan Sharpley, 2001) yang berasal dari luar perairan danau atau hasil perombakan bahan organik di perairan. Menurut Badruddin (2010) unsur pencemaran air dari DTA terbawa masuk ke perairan, baik secara langsung dan tidak langsung, antara lain limbah penduduk, pertanian, peternakan, serta industri dan pertambangan, termasuk erosi DAS sebagai sumber pencemaran air dan pendangkalan danau.
Sebagaimana layaknya danau-danau lain di dunia, Danau Laut Tawar, Aceh Tengah juga berpotensi mengalami eutrofikasi. Hal ini dapat diamati pada musim-musim tertentu perairan danau tersebut terlihat keruh, dan pada bagian-bagian tertentu terlihat berwarna kehijauan, yang diduga sebagai komunitas alga. Tulisan ini akan mengkaji sumber pencemar yang berasal dari daerah tangkapan air, yang menjadi input nutrient nitrogen (N) dan fosfor (P) yang masuk ke perairan Danau Laut Tawar. Kajian ini dilakukan berdasarkan data sekunder, informasi lapangan, dan telusuran literatur. Studi ini dimaksudkan sebagai informasi awal sebelum dilakukan kajian yang lebih mendalam tentang eutrofikasi di Danau Laut Tawar.
Danau Laut Tawar di Kabupaten Aceh Tengah merupakan salah satu danau yang banyak digunakan untuk keperluan masyarakat. Sebagai sumberdaya air, danau tersebut mempunyai fungsi sosial, ekologi, dan ekonomi. Fungsi sosial berupa segala aktivitas sosial yang menunjang kesejahteraan umum. Secara ekologi Danau Laut Tawar berfungsi sebagai bagian dari ekosistem yang menampung, menyimpan, dan mendistribusikan air, dan sebagai habitat kelangsungan hidup flora dan fauna. Secara ekonomi Danau Laut Tawar dapat didayagunakan untuk menunjang kegiatan usaha, sebagai sumber pendapatan masyarakat, terutama di bidang perikanan, disamping debit airnya dapat digunakan sebagai penggerak turbin penghasil energi listrik.
Ekosistem danau terdiri dari ekosistem akuatik perairan danau dan ekosistem terestrial daerah tangkapan air danau (Kemeneg LH, 2008). Danau Laut Tawar memiliki ekosistem akuatik perairan sebesar ± 5,742.10 Ha (Husnah, et al., 2012) dan ekosistem terestrial daerah tangkapan air sebesar 14,803.22 Ha (Adhar, 2008). Danau ini terletak pada elevasi 1230 m di atas permukaan laut (Ambar, et al., 1994 dan Husnah, et al., 2012), secara astronomis berada pada 4050’ LU dan 96050’ BT (Ambar, et al., 1994). Danau Laut Tawar berada di sebelah timur ibukota Kabupaten Aceh Tengah, Takengon.
Ekosistem akuatik perairan Danau Laut Tawar memiliki garis pantai sepanjang 43.9 km, dengan panjang maksimum sebesar 15.7 km, dan lebar maksimum sebesar 4.5 km. Kedalaman maksimum Danau Laut Tawar mencapai 84.23 meter dengan kedalaman rata-rata sebesar 25.19 meter. Volume air yang dapat ditampung sebesar 538,842,906.7 m3, yang setara dengan 538.84 juta kilo liter. Zona litoral Danau Laut Tawar adalah sebesar 14.28% dari total luasan permukaan, yang merupakan area yang potensial terjadinya proses fotosintesis dan metabolisme organisme akuatik (Husnah, et al., 2012). Nilai parameter morfometrik Danau Laut Tawar disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik morfometrik Danau Laut Tawar
Parameter
|
Nilai
|
Unit
|
Elevasi
|
1,230
|
meter
|
Luas Permukaan (Ao)
|
5,742.10
|
hektare (ha)
|
Kedalaman maks (Zmax)
|
84.23
|
meter
|
Kedalaman rata (Zmean)
|
25.19
|
meter
|
Panjang Maks
|
15,727
|
meter
|
Lebar Maks
|
4,563
|
meter
|
Panjang Garis Pantai (L)
|
43,920
|
meter
|
Littoral Area
|
14.28
|
%
|
Sumber : Husnah, et al. (2012)
Ekosistem teresterial Danau Laut Tawar dengan total luas 14,803.22 Ha mempunyai 42 daerah tangkapan air dengan 2 (dua) jenis tanah berupa Kompleks Podsolik Coklat (94.48%) dan Latosol (5.52%). Kemiringan lahan terdiri atas 6 (enam) klasifikasi, berupa 0–3%, 3–8%, 8–15%, 15–25%, 25–45%, dan >45%. Kemiringan lahan di atas 45% mendominasi daerah tangkapan air Danau Laut Tawar, yaitu sebesar 44.62% dari total luas daerah tangkapan air. Penggunaan lahan di ekosistem teresterial Danau Laut Tawar sebanyak 5 (lima) jenis yaitu (1) hutan sebesar 62,5 persen, (2) persawahan sebesar 16,7 persen, (3) perkebunan sebesar 16,26 persen, (4) pemukiman sebesar 3,25 persen, dan (5) semak sebesar 1,29 persen. Secara geografis ekosistem teresterial terletak antara 96048’ – 97002’ BT dan 04040’ – 4032’ LU (Adhar, 2010). Secara administrasi daerah tangkapan air tersebut berada pada wilayah Kecamatan Lut Tawar, Bebesan, Kebayakan, dan Bintang.
PEMBAHASAN
Proses eutrofikasi dapat terjadi secara alamiah atau kultural. Eutrofikasi alamiah terjadi tanpa pengaruh aktifitas manusia, sedangkan eutrofikasi kultural dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI (2009) mengklasifikasikan eutrofikasi dalam empat kategori status trofik kualitas air danau berdasarkan kadar unsur hara dan kandungan biomasa atau produktivitasnya, yaitu Oligotrof, Mesotrof, Eutrof, dan Hipereutrof/Hipertrof.
Proses eutrofikasi sangat ditentukan oleh keberadaan nutrien di dalam perairan dan faktor iklim setempat serta pola pemanfaatan badan air tersebut. Tingkat trofik suatu perairan digunakan untuk menyatakan status nutrien suatu badan air dan mencerminkan kesuburan perairan tersebut. Perairan oligotrofik mempunyai kandungan nutrien yang rendah dan ditinjau dari pertumbuhan organismenya tergolong perairan yang tidak produktif. Perairan eutrofik merupakan perairan yang kaya kandungan nutriennya dan sangat produktif. (Piranti, 2009).
Penentuan tingkat trofik danau dilakukan dengan menggunakan ukuran beberapa parameter kimia, fisika, dan biologi. Seperti yang dikembangkan oleh Wetzel’s (Irianto dan Triweko, 2011) menggunakan parameter Total Fosfat (TP), Total Nitrogen (TN), Produktivitas Primer (PP) dan Klorofil-a. Wetzel membagi tingkat trofik perairan dalam 6 (enam) klasifikasi, yaitu Ultrotrofik, Oligotrofik, Oligomesotrofik, Mesoeutrofik, Eutrofik, dan Hypertrofik. Ryding dan Rast (1989) menentukan tingkat trofik perairan dengan menggunakan parameter TP, TN, dan kedalaman seichi disk, dimana nilai masing-masing parameter yang digunakan berupa nilai rata-rata, kisaran (range nilai), dan jumlah contoh (sampel) yang digunakan. Klasifikasi tingkat trofik berupa Oligotrofik, Mesotrofik, Eutrofik, dan Hipereutrofik.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup R.I (2009) menentukan status trofik perairan danau menggunakan metode yang dimodifikasi dari OECD (1982), MAB (1989), dan UNEP-ILEC (2001), dimana menggunakan parameter TN, TP, Klorofil-a, dan kecerahan. Selain itu penentuan tingkat trofik juga dapat dilakukan dengan Metoda Carlson, yaitu dengan menggunakan Trophic State Index (Indeks Status Trofik). Metode ini menggunakan skala range nilai dari 0 – 100 untuk mengklasifikasi tingkat trofik danau. Indeks ini membutuhkan tiga variabel, yaitu Klorofil, Fosfat, dan transparansi kedalaman seichi disk (Carlson, 1977).
Berdasarkan beberapa metode penentuan tingkat eutrofikasi tersebut, maka dapat diamati bahwa parameter yang menentukan tingkat trofik danau terdiri dari fosfat, nitrogen, klorofil-a, produktivitas primer, dan transparansi kedalaman cakram seichi. Sehingga untuk mengamati potensi kemungkinan terjadinya eutrofikasi dapat diamati berdasarkan sumber nutrien nitrogen dan fosfat yang memenuhi perairan. Nilai produktivitas primer, klorofil-a, dan kedalaman cakram seichi merupakan fungsi dari konsentrasi nutrien N dan P, dimana peningkatan konsentrasi N dan P di perairan akan meningkatkan nilai variabel-variabel tersebut. Pengaruh nutrien P dan N terhadap eutrofikasi diungkapkan oleh Henderson, et al. (1987) bahwa badan air yang mengandung fosfor sebesar 0,010 mg/L dan nitrogen 0,300 mg/L sangat berpotensi untuk blooming fitoplankton.
Tingkat trofik perairan Danau Laut Tawar yang telah diamati melalui beberapa penelitian, diketahui tidak lagi berada pada kategori perairan yang miskin unsur hara (oligotrofik). Hal ini mencirikan bahwa perairan tersebut semakin menuju ke arah peningkatan kategori di atasnya. Menurut Kartamihardja (1995) yang meneliti perairan Danau Laut Tawar pada Agustus, Nopember 1994, dan Februari 1995 mengkategorikan perairan danau tersebut mesotrofik. Hasri dan Juandela (2012) mengkategorikan mesotrofik mengarah ke eutrofik, dimana pengambilan data dilakukan pada selama Mei – Oktober 2012. Sebelumnya Nurfadilah (2010) mengkategorikan sebagai perairan eutrofik berdasarkan data yang disampling pada Maret – April 2010.
Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Danau Laut Tawar sedang dalam proses menuju penuaannya akibat pengayaan nutrien yang masuk ke perairannya, maupun proses dekomposisi bahan organik dan anorganik di perairan. Adapun nutrien yang masuk ke perairan berasal dari daerah tangkapan air, berupa limbah domestik, pertanian, sedangkan proses pengayaan nutrien yang bersumber dari perairan danau sendiri diduga berasal dari hasil dekomposisi bahan organik yang terakumulasi di dasar danau dan hasil sisa kegiatan keramba jaring apung (KJA).
Berdasarkan sumber yang dapat diduga sebagai penyumbang fosfor (P) dan nitrogen (N) ke perairan Danau Laut Tawar, maka diperkirakan besaran potensi penyebab eutrofikasi dari ekosisten teresterial melebihi potensi yang dapat terjadi di ekosistem perairan. Hal ini berdasarkan uraian yang dikemukan oleh Morse, et al. (1993) bahwa sumber fosfor penyebab eutrofikasi 10% berasal dari proses alamiah di lingkungan air, 7% dari industri, 11% dari detergen, 17% dari pupuk pertanian, 23% dari limbah manusia, 32% dari limbah peternakan. Teramati bahwa polutan deterjen, pupuk pertanian, limbah manusia, peternakan dan industri merupakan kegiatan yang berlangsung di daerah tangkapan air, sedangkan di perairan hanya 10% fosfor yang dihasilkan.
Mengamati kegiatan yang berlangsung di ekosistem teresterial Danau Laut Tawar maka areal yang menjadi sumber polutan fosfor dan nitrogen adalah kawasan pemukiman dan pertanian. Hal ini didukung oleh Tusseau (2001) bahwa nutrien penyebab eutrofikasi terutama berasal dari buangan pertanian dan buangan limbah rumah tangga. Berikut akan dibahas potensi nutrien fosfor dan nitrogen yang dihasilkan oleh masing-masing kawasan tersebut.
1. Pemukiman
Luas lahan pemukiman Daerah Tangkapan Air Danau Laut Tawar sebesar 481.6 Ha (Adhar, 2008). Areal ini berpotensi menyumbang pengayaan unsur hara perairan danau melalui limbah yang dihasilkan dari kegiatan pemukiman penduduk (rumah tangga), daerah komersial (commercials district), perkantoran (institutional facilities), dan fasilitas rekreasi (recreational facilities). Limbah yang dihasil berada pada fase padat atau cair, yang terdiri dari bahan oraganik dan anorganik.
Limbah berfase cair akan terlarut di perairan terutama yang terurai menjadi bahan anorganik, seperti senyawa nitrogen dan fosfor yang berpotensi menyuburkan perairan danau. Limbah padat organic akan terakumulasi di dasar danau yang secara perlahan akan terurai secara anaerobik menghasilkan senyawa toksik dan senyawa lainnya yang menyebabkan eutrofikasi.
Limbah dari kegiatan rumah tangga sangat mendominasi jumlah limbah total dari areal pemukiman, dimana setiap penduduk menurut Said (2008) secara umum menghasilkan air limbah rumah tangga berkisar antara 200 – 300 liter/orang.hari. Hal ini terlihat dari beban polutan per kapita per hari yang disajikan pada Tabel 2. Selain itu berdasarkan penelitian Irianto dan Anong (1996) dalam Brahmana, et al. (2010) bahwa dalam tinja orang terdapat kandungan BOD 35 gr/orang/hari, Nitrogen total (N) 11,5 gr/orang/hari dan Fosfat total (P) 0,8 gr/orang/hari.
Tabel 2. Beban polutan limbah rumah tangga (gram/orang.hari)
Paremeter Polutan
|
Tinja
|
Air Limbah Non Toilet
|
Total
|
BOD5
|
18
|
32
|
50
|
SS
|
20
|
18
|
38
|
Total Nitrogen
|
9
|
3
|
12
|
Total Phosphor
|
0,9
|
0,9
|
1,8
|
Sumber : Nihon Gesuido Kyoukai (1975) dalam Said (2008)
Berdasarkan data kepadatan penduduk dan luasan wilayah administrasi di daerah tangkapan air, maka dapat diperkirakan jumlah penduduk yang bermukim di daerah tangkapan air Danau Laut Tawar. Menurut BPS Aceh Tengah (2013), kepadatan penduduk Tahun 2012 di Kecamatan Lut Tawar, Bebesan, Kebayakan, dan Bintang masing-masing sebesar 189.41 jiwa/km2, 764.14 jiwa/km2, 261.66 jiwa/km2, dan 20.81 jiwa/km2. Sehingga diperoleh total jumlah penduduk di daerah tangkapan air Danau Laut Tawar sekitar 21,584 jiwa.
Jumlah penduduk sebanyak 21,584 jiwa yang bermukim di daerah tangkapan air merupakan suatu potensi sumber penyumbang nitrogen dan fosfor ke perairan Danau Laut Tawar. Berdasarkan data yang dikemukakan oleh Brahmana, et al. (2010) dan Said (2008), diperkirakan perairan Danau Laut Tawar menerima beban nitrogen sekitar 248 – 259 Kg/hari dan fosfor sekitar 17 – 39 Kg/hari. Selain itu juga dihasilkan Suspended Solid (SS) yang dapat menyebabkan penurunan tingkat kecerahan air sekitar 820 Kg/hari. Bahan ini juga dapat mengendap di dasar danau, sehingga berpotensi sebagai penghasil nitrogen dan fosfor bila terjadi resuspensi.
Perhitungan tersebut di atas mendeskripsikan bahwa kawasan pemukiman di daerah tangkapan air Danau Laut Tawar memberikan kontribusi yang cukup tinggi terhadap potensi eutrofikasi perairan Danau Laut Tawar. Hal ini tercermin dari besarnya nilai unsur hara yang berasal dari kawasan pemukiman dan masuk ke perairan danau, yaitu N-total sekitar 90.6 – 94.5 ton/tahun, P-total sekitar 6.3 – 14.2 ton/tahun, dan SS sekitar 299.4 ton/tahun. Perhitungan ini hanya mengkalkulasikan limbah yang dihasilkan oleh manusia, belum termasuk limbah yang dihasilkan oleh sejumlah ternak dan hewan peliharaan lainnya di kawasan tersebut. Diperkirakan bahwa sebenarnya jumlah limbah fosfor dan nitrogen yang diterima perairan danau dari kawasan pemukiman melebihi hasil perhitungan tersebut.
2. Lahan Pertanian
Kegiatan di areal pertanian juga berpotensi mencemarkan perairan danau, bila berbagai residu pupuk dan pestisida mengalir ke dalam danau. Hal ini akan menyebabkan akumulasi residu tersebut di perairan sehingga menyebabkan pencemaran dan merusak ekosistem perairan. Menurut Brahmana, et al. (2010) sumber pencemaran dari pertanian berasal dari pemakaian pupuk, jerami, sisa tanaman dan pestisida. Pupuk yang digunakan tidak seluruhnya terserap, namun ada yang terbuang ke sungai bersama aliran. Besarnya pupuk dan pestisida yang masuk ke sungai diperkirakan 10% dari pemakaian pupuk.
Residu pupuk yang tidak terserap tanaman, mengandung unsur nitrogen dan fosfor yang cukup tinggi. Senyawa-senyawa tersebut terbawa oleh aliran air hujan masuk ke perairan., sehingga dapat merangsang pertumbuhan alga dan tanaman air lainnya Kelimpahan hara nutrisi ini dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi (Dwidayanti et. al, 2012 dan Kemka et. al, 2006 dalam Marganof, 2007). Kandungan nitrat pada perairan yang menerima limpasan air dari lahan pertanian yang banyak mengandung pupuk dapat mencapai 1.000 mg/l (Effendi, 2003).
Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, pola penanaman padi oleh masyarakat di sekitar Danau Laut Tawar masih berlangsung selama setahun sekali dengan dosis penggunaan pupuk 200-250 kg/ha Urea, 150 kg/ha SP-36 dan 100 kg/ha KCl untuk setiap musim tanam. Dosis pupuk yang digunakan untuk areal perkebunan kopi untuk satu hektar lahan selama setahun adalah 293 kg Urea (46% N), 89 Kg DS (38% P2O5), dan 290 Kg ZK (50% K2O).
Luas lahan pertanian di daerah tangkapan air Danau Laut Tawar adalah 4,878.73 Ha dengan perincian persawahan sebesar 2,471.74 Ha dan perkebunan kopi 2,406.99 Ha (Adhar, 2008). Berdasarkan data luas lahan maka diketahui total jumlah pupuk nitrogen yang digunakan sekitar 881 ton/tahun, dan pupuk fosfor sekitar 453 ton/tahun. Bila menggunakan asumsi Brahmana, et al. (2010) bahwa 10% dari pemakaian pupuk masuk ke perairan, maka diprediksikan jumlah beban nitrogen dan fosfor yang masuk ke perairan Danau Laut Tawar dari areal pertanian adalah sekitar 88.1 ton/tahun dan 45.3 ton/tahun. Jumlah tersebut dianggap dapat merangsang pertumbuhan fitoplankton dan tumbuhan air lainnya di perairan danau.
Bahan organik limbah domestik, baik dari kawasan pemukiman maupun lahan pertanian, selain diserap oleh tumbuhan air, sebagiannya mengendap di dasar perairan. Endapan yang berada pada zone afotik ini akan terdekomposisi secara anaerobik. Proses penguraian dalam keadaan anaerobik tersebut menurut Prihadi (2005) menghasilkan gas-gas beracun, seperti H2S (Hidrogen Sulfida), NH3 (Amoniak), dan CH4 (Methan), serta juga dihasilkan senyawa dari komponen fosfor yang berbau menyengat seperti bau anyir.
Keberadaan NH3 dan H2S hasil dekomposisi anaerob pada tingkat konsentrasi tertentu dapat membahayakan organisme lain, termasuk ikan (Garno, 2002). Gas yang membahayakan kehidupan biota air dan makhluk hidup lainnya tersebut akan memenuhi permukaan perairan (zone fotik) bila terjadi arus balik (overturn) sehingga dapat menimbulkan kematian massal hewan-hewan air. Umumnya proses arus balik ini terjadi pada pada musim penghujan yang menyebabkan perbedaan suhu perairan antara permukaan dan bawah permukaan.
Keberadaan NH3 dan H2S hasil dekomposisi anaerob pada tingkat konsentrasi tertentu dapat membahayakan organisme lain, termasuk ikan (Garno, 2002). Gas yang membahayakan kehidupan biota air dan makhluk hidup lainnya tersebut akan memenuhi permukaan perairan (zone fotik) bila terjadi arus balik (overturn) sehingga dapat menimbulkan kematian massal hewan-hewan air. Umumnya proses arus balik ini terjadi pada pada musim penghujan yang menyebabkan perbedaan suhu perairan antara permukaan dan bawah permukaan.
KESIMPULAN
Ekosistem teresterial Danau Laut Tawar merupakan sumber input nutrien fosfor dan nitrogen yang dominan dibandingkan ekosistem akuatiknya. Areal yang menjadi sumber polutan fosfor dan nitrogen adalah kawasan pemukiman dan pertanian, disamping kegiatan peternakan yang belum terdeteksi nilainya. Areal pemukiman dengan jumlah penduduk sebanyak 21,584 jiwa berpotensi memberikan input nutrien nitrogen (N) sekitar 90.6 – 94.5 ton/tahun dan fosfor (P) sekitar 6.3 – 14.2 ton/tahun. Areal pertanian dengan luas 4,878.73 Ha berpotensi memberikan input nutrient nitrogen (N) sekitar 88.1 ton/tahun dan fosfor sekitar 45.3 ton/tahun. Total input nutrien nitrogen dari ekosistem teresterial berkisar 178.7 - 182.6 ton/tahun, dan fosfor berkisar 51.6 - 59.5 ton/tahun.
REFERENSI
Adhar, S. (2008):
Kajian Erosi Daerah Tangkapan Air dan Muatan Sedimen Inflow Danau Laut Tawar,
Aceh Tengah, Tesis Program Pascasarjana KSDL Universitas Syiah Kuala, Banda
Aceh.
Adhar,
S. (2010): Studi Erosi dan Konservasi Daerah Tangkapan Air Danau Laut Tawar,
Unimal Press, Lhokseumawe.
Afdal dan Riyono,
S.H. (2008): Sebaran Klorofil-a dan Hubungannya dengan Eutrofikasi di Perairan
Teluk Jakarta, Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (2008) 34 (3): 333-351.
Anonimous, (2008): Pedoman Pengelolaan Ekosistem Danau, Kementerian
Negara Lingkungan Hidup, Jakarta.
Anonimous, (2009): Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 28
Tahun 2009, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Jakarta.
Anonimous, (2013):
Aceh Tengah dalam Angka, BPS Aceh Tengah, Takengon.
Ambar, S., Hendrawan., Dahlian. dan Tabung. (1994):
Laporan Analisis Dampak Lingkungan Proyek PLTA Peusangan 1 dan 2. Departemen Pertambangan dan Energi. Jakarta.
Badruddin, M. (2010): Model Perhitungan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau Dan Waduk,
Jurnal Sumber Daya Air Vol. 6 No.2, 2010, hal 129 – 144.
Brahmana, S. S., Yani, S. dan Firdaus, A. (2010): Kualitas Air Dan
Eutrofikasi Waduk Riam Kanan Di Kalimantan Selatan, Prosiding Seminar Nasional Limnologi V Tahun 2010.
Carlson, R. E.
(1977): A trophic state index for lakes, Limnology And Oceanograpiiy, V. 22(2),
pp. 361-369.
Connel,
D. W., dan Gregory, J. M. (2006): Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran, Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta.
Dwidayanti, A., Moh Husein, S. dan Totok, A, D, H. (2012): Kajian Tingkat Trofik, Pengetahuan dan Sikap
Masyarakat pada Eutrofikasi di Desa
Pernasidi, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Semarang.
Effendi,
H. (2003): Telaah Kualitas Air: Bagi
Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan, Kanisius, Yogyakarta.
Garno, Y. S. (2002): Beban Pencemaran Limbah
Perikanan budidaya dan Yutrofikasi di Perairan Waduk Pada DAS Citarum, Jurnal Teknologi
Lingkungan, Vol. 3, No. 2, hal. 112-120.
Hasri, I. dan Juandela, R. (2012): Evaluasi Bio-Limnologi Dan Relung
Ekologi Komunitas Ikan Untuk Menentukan Jenis Ikan Yang Akan Ditebar Di Danau
Laut Tawar, Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun 2012, Kopertis Wilayah I.
Henderson,
B., Sellers dan Markland, H. R. (1987): Decaying Lakes The Origins and Control
of Cultural Eutrophication, John Wiley & Sons, Chichester- Singapore, pp.
254.
Husnah, Zulkarnaen, F.,
Azwar, S., Melfa, M., Apriyadi, Raider, S. J., Rusma,
Mersi, Rosidi. (2012): Potensi Produksi Dan Karakteristik Sumberdaya Ikan Di
Krueng Peusangan, Provinsi Aceh, Laporan Tahunan/Akhir,
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan
Dan Konservasi Sumberdaya Ikan Badan Penelitian Dan Pengembangan Kelautan Dan
Perikanan Kementerian Kelautan Dan Perikanan.
Irianto, E. W. dan Triweko, R. W. (2011): Eutrofikasi Waduk dan Danau:
Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sumber Daya Air Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian
Pekerjaan Umum, Jakarta.
Kartamihardja, E. S., Hendra, S., dan Ahmad, S.
S. (1995): Limnologi dan Potensi Produksi Ikan Danau Laut Tawar, Aceh Tengah,
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol I, No. 3, hal. 11-25.
Kleinman, P. J .A. and Andrew, N, S.
(2001) Eutrophication Of Lakes and Rivers, Encyclopedia Of Life Sciences,
Macmillan Publishers Ltd, Nature Publishing Group / www.els.net.
Kumurur, V. A. (2011): Erosi dan Eutrofikasi
Mengancam Ekosistem Perairan Danau Tondano, http://veronicakumurur.blogspot.com/2011/04/erosi-eutrofikasi-mengancam-ekosistem.html, diunduh Mei 2011.
Marganof. (2007): Model Pengendalian Pencemaran Perairan di Danau Maninjau,
Sumatera Barat, Disertasi, Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.
Morse, G. K., Lester,
J, N. dan Perry, R. (1993):. The Economic
and Environmental Impacts of Phosphorus Removal from Wastewater in the European
Community. Selper Publications, London.
Nurfadillah.
(2010): Dinamika Struktur Komunitas Fitoplankton Dan Status Trofik Perairan
Danau Laut Tawar Kabupaten Aceh Tengah, Tesis Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Piranti, S. A. (2009):
Hubungan Antara Konsentrasi Nutrien Dan Pola Operasional Waduk Dengan Tingkat
Eutrofikasi Waduk Mrica Di Musim Kemarau, Laporan Akhir Kegiatan Hibah
Penelitian Untuk Mahasiswa Program Doktor Tahun Anggaran 2009, Sekolah Pasca
Sarjana Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Prihadi, T. H. (2005):
Pengelolaan Budidaya Ikan Secara Lestari di Waduk (Studi Kasus di Perairan
Waduk Cirata, Jawa Barat), Disertasi Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Ryding S. O and Rast, W. (1989): The Control of Eutrophication of Lakes
and Reservoirs, The Parthenon Publishing Group, Paris
Said, N. I. (2008): Pengelolaan Air Limbah Domestik di DKI
Jakarta, Tinjauan Permasalahan, Strategi dan Teknologi Pengolahan, Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta.
Tusseai and
Vuilleman, M. H. (2001): Do Food Processing Industries Contribute To The
Eutrophication Aquatic, System Ecotoxicol Environ.
Xiaoying and
Shijie (2006): An analysis on the
evolvement processes of lake eutrophication and their characteristics of the
typical lakes in the middle and lower reaches of Yangtze River, Chinese Science
Bulletin 2006 Vol. 51 No. 13,
pp. 1603—1613.
.
Rekomendasi Kutipan Referensi :
Adhar S, 2013, Potensi Input Nutrien Nitrogen dan Fosfor dari Ekosistem Teresterial Danau Laut Tawar, Aceh Tengah, Prosiding Simposium Akuakultur Nasional, 27 November 2013
Dipresentasikan pada Simposium Akuakultur Nasional, 27 Nopember 2013, di Lhokseumawe.
Dimuat dalam Prosiding Simposium Akuakultur Nasional, ISBN 978-602-14609-0-0
Adhar S, 2013, Potensi Input Nutrien Nitrogen dan Fosfor dari Ekosistem Teresterial Danau Laut Tawar, Aceh Tengah, Prosiding Simposium Akuakultur Nasional, 27 November 2013
Dipresentasikan pada Simposium Akuakultur Nasional, 27 Nopember 2013, di Lhokseumawe.
Dimuat dalam Prosiding Simposium Akuakultur Nasional, ISBN 978-602-14609-0-0