MENGEMBALIKAN KESEIMBANGAN ALAMI PADA KEHIDUPAN ULAT BULU

Ahmad Nadhira
Dosen Kopertis Wilayah I Dpk. Universitas Tjut Nyak Dhien
 E-mail : ahmadnadhira@gmail.com

Abstrak
 Merebaknya wabah ulat bulu di berbagai wilayah di Indonesia secara hampir serentak menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat umum dan ilmuwan. Bagaimana fenomena ini bisa terjadi dalam waktu yang relatif singkat? Makalah ini bertujuan menjelaskan kausalitas fenomena tersebut dan kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi masalah ini dan mencegahnya terjadi lagi di masa yang akan datang, dalam perspektif ekologis. Ketika penelitian ini dimulai, beberapa teori dan laporan penemuan fakta dikumpulkan, dianalisa, dan diinterpretasikan. Makalah ini menyimpulkan bahwa ulat bulu merupakan bentuk lain dari siklus hidup serangga bersayap sisik. Dalam bahasa Indonesia, serangga tersebut dinamakan kupu-kupu atau ngengat. Nafsu makan yang tinggi dari bentuk lepidoptera ini menempatkan serangga ulat bulu ditetapkan sebagai hama yang merusak daun, cabang, akar, atau buah pada tanaman pangan, tanaman akar, tanaman daun, pohon kayu, dan cemara. Bagi manusia, bulu-bulunya bisa menimbulkan iritasi kulit, reaksi alergi, dan bahkan korban akut sampai kematian. Spesies lepidoptera diyakini berjumlah lebih dari 174.250, dalam 126 famili, dan 46 superfamili. Kondisi ini menempatkan lepidoptera sebagai serangga paling bervariasi di dunia. Kemajemukan dan melimpahnya lepidoptera merupakan kausalitas dari keberadaannya yang rentan. Seluruh fase dalam siklus hidupnya selalu berada dalam bahaya diserang. Tidak itu saja, iklim yang lebih hangat telah memperpendek siklus hidupnya dari 4-7 minggu menjadi kurang dari 4 minggu. Beberapa spesies bisa melahirkan 2 generasi dalam waktu kurang dari 1 tahun. Keberadaan sayapnya membuat lepidoptera mampu bermigrasi ke wilayah yang dinilai bisa membuat mereka tenang berkembang biak semasa hidupnya. Penanggulangan wabah ulat bulu melalui penyemprotan pestisida telah dilarang di seluruh dunia. Pemusnahan ulat bulu dengan mengumpulkannya satu per satu, menyemprotnya dengan api, menjebak mereka dengan memasang feromon sebagai umpan, serta intervensi langsung dinilai kurang efektif untuk mengatasi ribuan lepidoptera larva dan dewasa. Cara yang aman, ekologis, dan ekonomis guna mengatasi serangan hama ulat bulu adalah dengan kembali memanfaatkan musuh alaminya, yang bersifat parasit, predator, atau virus. Dalam jangka menengah dan jangka lebih panjang, pemerintah bersama masyarakat umum dan masyarakat industri seharusnya lebih memperhatikan dan memberikan prioritas lebih tinggi pada upaya pengurangan emisi karbondioksida dan penyerapan karbondioksida di udara. Tujuannya adalah untuk memperlambat kecepatan pemanasan global, dan terlebih lagi untuk menguranginya.

Kata kunci: lepidoptera, epidemi, kontrol biologis, perubahan iklim


Latar Belakang

Fenomena jutaan ulat bulu yang menyerang 49 desa di 7 kecamatan di kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, ternyata mulai terjadi sejak awal Februari 2011. Setelah ditelisik lebih mendalam, tanaman yang diserang ternyata adalah jenis pohon mangga. Survey fisik berhasil mengidentifikasi kerusakan sekitar 14.500 pohon mangga atau sekitar 1,5% dari total 1,8 juta jumlah pohon mangga. Kejadian serupa pernah terjadi di Thailand di tahun 2003 dengan tanaman mangga sebagai target serangan.
Probolinggo dikenal sebagai sentra mangga terbesar di Jawa Timur. Manalagi merupakan varietas mangga yang menjadi target serangan ulat bulu. Ulat bulu yang menyerang diidentifikasi sebagai bakal ngengat dengan sebutan Arctornis sp, Lymantria atemeles collenette, Lymantria marginanta (Jawa Timur), Cyana veronata, Arctiidae, Lasiocampidae, (Yogyakarta), Daychera indusa (Kendal, Jawa Tengah).
Hymenoptera merupakan predator alami ulat bulu, yakni dari jenis braconid (tawon merah) dan apanteles berkurang akibat hujan terus menerus. Demikian pula semut rang-rang. Dari tipe burung, prenjak, jalak, cinenen, dan cerukcuk berkurang cukup signifikan hingga mencapai 80 persen dari populasi sebelumnya, akibat perburuan. Demikian juga populasi burung pipit atau burung gereja.

Tabel – 1. Rekapitulasi fenomena wabah ulat bulu, 2011
Waktu
Tempat
Jenis Ulat Bulu
Tanaman Sasaran
2011-03-30
Probolinggo
Arctornis riguata
Mangga


Lymantria beatrix



Sphrageidus virguncula



Orgya postica (lymantriidae)



Cyana peronata (arctiidae)

2011-04-14
Yogyakarta
Trabala sp
Kenanga


Maenas sp

2011-04-20
Tj. Jabung, Jambi
Lymantria beatrix
Mangga
2011-04-15
Ketapang, Lampung
Euproctis
Mangga
2011-04-16
Marunda, Jak-Ut
Dasychira
Rerumputan, gulma
2011-04-19
Tj. Duren, Jak-Bar
Euproctis sp
Cemara

Ps. Rebo, Jak-Tim
Trabala Spp

2011-04-17
Bali
Crucula trifenestrata
Jambu mete,


(Ulat sutera emas)
Kedondong, alpukat
2011-04-21
Lombok, NTB
Crucula trifenestrata
Jambu Mete


(Ulat sutera emas)
Kedondong

Seiring hebohnya pemberitaan wabah ulat bulu di Probolinggo, beberapa daerah lainnya juga dilaporkan telah diserang ulat bulu, antara lain:
1.   Jawa Timur: Pasuruan, Jombang, Malang, Pasuruan, Banyuwangi, Lamongan, Bojonegoro.
2.   Yogyakarta.
3.   Jawa Tengah: Kendal, Semarang, Sukoharjo.
4.   Bandung.
5.   Bekasi: Jati Asih
6.   Jakarta: Tanjung Duren, Rawa Badak.
7.   Sumatera Utara: Tebing Tinggi
8.   Bali: kabupaen Gianyar, kecamatan Melaya dan Penyaringan, Jembrana
9.   NTB: Lombok.
10.Aceh: kabupaten Bireuen, Aceh Utara
11.Sumatera Barat: Kanagarian Paritmalintang, Kecamatan Enam Lingkung, Kabupaten Pariaman.

Beberapa tanaman yang diserang termasuk ke dalam jenis tanaman kacang, pohon angsana, cemara. Pada tahun 2009 lalu, wabah ulat bulu pernah menyerang pohon kaliki di Bandung (26.03.2009) dan tanaman kedelai di Lamongan (15.05.2009).


Identifikasi Masalah

1. Apa dan bagaimana kondisi-kondisi yang menyebabkan ulat bulu bisa atau tidak bisa berkembang biak dengan baik.
2. Bagaimana matrikulasi atau apa saja yang menjadi kausalitas (sebab-akibat) fenomena mewabahnya ulat bulu di Indonesia dewasa ini?
3. Apa saja kriteria, sasaran antara, atau pertimbangan dalam mencapai tujuan berhentinya perluasan epidemi wabah ulat bulu di masa kini dan yang akan datang?
4.  Apakah global warming berdampak di tingkat global atau lokal?
a. secara fisik atau bagi lingkungan alam ditinjau dari sudut kenaikan suhu (udara, air, tanah), penurunan ketebalan salju di dua kutub dan kenaikan permukaan air laut, dan lainnya.
b. bagi lingkungan flora dan fauna.
c. terhadap ulat bulu dan predatornya.


Kedudukan Ulat Bulu dalam Dunia Fauna

Pada mulanya, klasifikasi makhluk hidup terbagi atas dunia fauna (animalia kingdom) dan dunia flora (vegetabilia kingdom). Seiring perkembangan zaman, makhluk hidup terbagi atas 6 klasifikasi menurut versi Woese (1977) dan Cavalier-Smith (1998 dan terakhir 2004). Menurut Cavalier-Smith, serangga merupakan kerajaan tersendiri. Ukurannya yang kecil dan kemampuan adaptasinya yang tinggi, membuat serangga diyakini sebagai makhluk hidup pertama yang mampu membuat koloni di bumi.
Beberapa hal yang biasanya dijadikan dasar klasifikasi fauna mencakup tulang belakang (vertebrata dan invertebrata/avertebrata), simetri tubuh, lapisan tubuh, filum, makanan, dan suhu. Dalam dunia fauna, komposisi hewan invertebrata adalah sekitar 97%, sementara hewan vertebrata hanya berjumlah 3%.
Klasifikasi invertebrata terbagi atas 9 filum atau divisi, yakni protozoa, porifera, coelentrata, platythelminthes, nemathelminthes, annelida, mollusca, arthropoda, dan echinodermata. Filum arthropoda terbagi atas 4 kelas, yakni crustacea, chelicerata, myriapoda, dan hexapoda atau serangga (insecta).
Keluarga serangga terbagi atas monocondylia dan dicondylia. Monocondylia hanya memiliki archaeognatha yang juga berperan sebagai ordo pertama dalam klas serangga. Keluarga dicondylia terbagi atas 2 kelompok besar ordo, yakni bersayap (pterigota) dan tidak bersayap (apterigota).
Dua ordo serangga tidak bersayap mencakup thysanura dan monura. Serangga bersayap terbagi atas paleoptera (serangga dengan sayap tidak bisa dilipat) dan neoptera (serangga bersayap fleksibel). Dua ordo dalam paleoptera mencakup ephemeroptera dan odonate. Beberapa ordo dalam klas neoptera:


1.     Blattodea.
2.     Coleoptera.
3.     Dermaptera.
4.     Diptera.
5.     Embioptera.
6.     Grylloblattaria.
7.     Hymenoptera.
8.     Lepidoptera.
9.     Mantodea.
10.   Mecoptera.
11.   Megaloptera.
12.   Neuroptera.
13.   Orthoptera.
14.   Phasmatodea.
15.   Phthiraptera.
16.   Plecoptera.
17.   Siphonaptera.
18.   Strepsiptera.
19.   Trichoptera.
20.   Zoraptera.
21.   Zygentoma.

 Bagan–1. Siklus hidup lepidoptera

Sumber : wikipedia



Ulat (bulu) merupakan salah satu tahapan (larva/nimfa) dalam siklus hidup hewan dalam ordo lepidoptera (serangga bersayap sisik, lepis = sisik, pteron = sayap) yang bermetamorfosis dari telur menjadi ulat kemudian menjadi kepompong dan akhirnya kupu-kupu atau ngengat (rama-rama).

Proses metamorfosis yang dialami ulat wujud pada perubahan penampilan fisik dan/atau struktur setelah kelahiran atau penetasan. Sel yang bermetamorfosis mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang secara radikal berbeda. Perbedaan bisa terlihat pada perubahan habitat dan prilaku.

Bentuk dewasa ulat bisa berupa kupu-kupu atau ngengat tergantung jus yang dicerna ulat selama periode memakan. Sumber makanan ulat adalah dedaunan, sementara sumber makanan kupu-kupu adalah madu bunga, nektar, atau sari kembang. Sumber makanan lain adalah buah yang membusuk di tanah, bangkai, kotoran burung, dan tanah basah. Tumbuhan yang memberikan dedaunan bisa berupa tanaman semusim, tanaman keras, tanaman keras, atau lainnya.

Metamorfosis ulat (caterpillar) bersifat sempurna (holometabola) dari fase larva ke fase tidak aktif (pupa, kepompong, chrysalis) dan kemudian menjadi imago (dewasa). Di dalam kepompong, larva mengeluarkan cairan pencernaan untuk menghancurkan tubuhnya (histolisis) dan menyisakan sebagian sel yang tumbuh menjadi dewasa (histogenesis) dengan hancuran tubuh larva sebagai nutrisi sel.





Ekosistem dan Keseimbangan Alam



Keseimbangan alam (balance of nature) merupakan satu kondisi teoritis yang menyatakan adanya ekuilibrium yang stabil (homeostatis) dalam sistem ekologis. Sedikit perubahan pada beberapa parameter akan dikoreksi dengan besar yang sama sehingga ke titik keseimbangan (point of balance).



 Bagan–2. Rantai makanan

Sumber : Thompsma, Rantai makanan, 4 Feb. 2010



Kondisi ini berlaku pada sistem predator/mangsa, atau hubungan antara herbivora dan sumber makanannya, atau hubungan antara ekosistem bumi, komposisi atmosfir, dan cuaca dunia. Dalam prakteknya, komunitas ekologis flora dan fauna pada dasarnya adalah tidak stabil, karena adanya perbedaan substansil pada prilaku diantara komunitas dan antar-individu. Walau beberapa populasi memiliki prilaku kacau, tetapi mereka tetap tunduk pada hukum deterministik bahwa jumlah populasi sangat tergantung sumber makanannya.

Pada umumnya, ekosistem merupakan lingkungan biologis yang terdiri dari seluruh organisme di satu wilayah; termasuk didalamnya komponen fisik dan benda mati (abiotik) yang menjadi tempat interaksi organisme seperti udara, tanah, air, dan cahaya matahari. Keseluruhan organisme terbagi atas fungsinya sebagai produsen, konsumen, decomposer, organisme mikro, dan rantai makanan.

Dalam tatanan atau hierarki kehidupan, ekosistem merupakan urutan kedua setelah biosfir, yang dilanjutkan dengan komunitas (biocoenosis), populasi, organisme, sistem organ, organ tubuh, jaringan (tissue), sel, organelle, molekul (molekul-makro - biomolekul), dan atom. Biosfir berlokasi di atmosfir bumi paling bawah, yakni udara, troposfir (6-20 km), stratosfir (20-50 km), mesosfir (50-85 km), termosfir (85-690 km), eksosfir (690-10.000 km). Atmosfir bumi dibagi menurut tekanan dan kepadatan udara yang bervariasi menurut ketinggian, yang dinyatakan dalam ukuran suhu.

Udara merupakan atmosfir bumi yang digunakan untuk bernafas dan fotosintesis. Udara dipenuhi oleh empat gas utama, yakni nitrogen (78,09%),  oksigen (20,95%), argon (0,93%), dan karbondioksida (0,039%). Diluar keempat gas tersebut, banyak uap air bisa berkisar antara 1%-4% di permukaan.

Perubahan kondisi lingkungan yang sifatnya sementara bisa menimbulkan gangguan ekologis seperti kebakaran, banjir, badai angin, mewabahnya serangga (insect outbreaks), perambahan hutan, dan munculnya spesies eksotis. Gangguan tersebut bisa berefek langsung yang dahsyat terhadap ekosistem dan dapat memberikan perubahan drastis bagi komunitas alam.

Gangguan alami biasanya diakibatkan oleh iklim, cuaca, atau lokasi. Kondisi gangguan bisa bersifat siklus, periodik, atau karena adanya manusia atau spesies yang invasif. Sebagai satu siklus, bisa saja terjadi jumlah satu spesies (predator) yang berkurang banyak bisa berdampak pada membludaknya spesies lain (yang berperan sebagai mangsa). Faktor lainnya bisa berupa adanya perubahan lingkungan fisik.

Spesies yang populasinya meningkat drastis bisa menjadi endemik dan epidemik. Persaingan spesies bisa membuat satu spesies mendominasi; dan di sisi lain, spesies lain mengalami kepunahan untuk digantikan spesies yang baru yang bisa beradaptasi dan mengalami evolusi dengan kondisi lingkungan yang baru.




Determinan yang Mempengaruhi Keseimbangan Alam


Gangguan alami yang sifatnya laten dan jangka panjang berdampak pada perubahan iklim, dan dinyatakan dengan telah terjadinya pemanasan global. Beberapa determinan utama alami yang menyebabkan pemanasan global:

1. Efek gas rumahkaca, ditandai dengan meningkatnya penguapan air di atmosfir.

2. Terlepasnya gas karbondioksida dan metana akibat melumernya salju abadi.

3. Penurunan kemampuan samudera yang panas menahan karbondioksida.


 Bagan–3. Siklus produksi karbondioksida

Sumber : Departemen Energi AS, 14.05.2007



Peningkatan konsentrasi gas rumahkaca yang membuat iklim bumi semakin panas bisa berasal dari (Steinfeld, et al, 2006) :

1.     Hasil pembakaran bahan bakar minyak.

2.     Terlepasnya gas aerosol.

3.     Produksi semen.

4.     Pemakaian ruang tanah.

5.     Menipisnya lapisan ozon.

6.     Peternakan (biomassa).

7.     Penggundulan hutan.

8.     Pergeseran lempeng tektonik mengubah topografi dan sirkulasi samudera dan atmosfir.

9.     Aktivitas gunung berapi.

10.   Aktivitas samudera.



Beberapa faktor eksternal lainnya yang mengubah iklim bumi mencakup:

1.  Variasi dalam radiasi sinar matahari.

2.  Deviasi orbit bumi.



Dampak perubahan iklim bisa terlihat secara alam fisik pada sistem-sistem alam, ekologis, dan sosial. Beberapa dampak pada sistem alam :

1.  menurunnya luas dan ketebalan es dan salju abadi,

2.  naiknya tingkat permukaan laut,

3.  semakin intensifnya aktivitas badai tropis,

4.  tingginya tingkat pengendapan (hujan lebat) dan banjir bandang,

5.  semakin seringnya kejadian cuaca dengan panas ekstrim, gelombang panas,

6.  semakin luasnya wilayah kekeringan.



Tiga bentuk generik perubahan pada alam di tingkat regional, yakni pembentukan atau pencairan es, perubahan siklus hidrologis (penguapan dan hujan), dan perubahan arus laut dan arus udara di atmosfir. Luas wilayah pantai juga semakin berkurang. Di laut, penyerapan karbon dioksida oleh laut membuat air laut semakin asam dan kadar oksigen semakin jauh berkurang. Ekosistem laut mulai terganggu. Di sisi lain, naiknya suhu air laut juga semakin mengurangi kemampuannya untuk menyerap karbondioksida.

Secara ekologis, perubahan iklim semakin meningkatkan potensi kepunahan banyak spesies dan berkurangnya kemajemukan ekosistem. Secara sosial, perubahan iklim tingkat regional berpengaruh pada sistem-sistem yang terkait dengan aktivitas yang dilakukan manusia seperti pasokan pangan (manajemen pertanian dan kehutanan), bahaya kehidupan tepi laut seperti banjir rob atau tsunami, kekurangan gizi dan daya tahan serta kemampuan tubuh beradaptasi (kesehatan).

Dewasa ini, 70% kejadian bencana alam dikaitkan dengan perubahan iklim. Kondisi ini naik dari 50% dibandingkan kondisi 20 tahun lalu. Bencana ekologis seperti gagal panen ditengarai karena jumlah penduduk yang meningkat pesat, pembangunan ekonomi, dan pertanian yang tidak berkesinambungan.

Kepunahan yang merebak dan berlanjut serta kelangkaan air membuat populasi harus hidup tanpa air minum yang aman, berkurangnya hewan penyerbuk, penangkapan ikan berlebih, perambahan hutan yang luas, desertification, perubahan iklim, atau pencemaran air yang berlebihan.

Degradasi lingkungan dan biosfir merefleksikan adanya kehancuran secara bertahap terhadap lingkungan akibat berkurangnya sumber daya udara, air, dan lapisan tanah; kehancuran ekosistem, dan semakin punahnya kehidupan flora dan satwa liar. Degradasi lingkungan ditandai dengan semakin berkurangnya kapasitas lingkungan dan/atau habitat alami yang berfungsi untuk memenuhi berbagai tujuan dan kebutuhan sosial dan ekologis. Bencana ekologis bisa berkembang dan merembet menjadi bencana kemanusiaan.





Respon Manusia terhadap Pemanasan Global



Upaya mitigasi efek gas rumahkaca dilakukan dengan mengembangkan strategi adaptasi terhadap pemanasan global di tingkat manusia dan spesies flora dan fauna, ekosistem, wilayah dan bangsa-bangsa. Di tingkat internasional, bentuk mitigasi dinyatakan dalam Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC), Protokol Kyoto, dan Inisiatif Iklim Barat.

Di kalangan ilmuwan lingkungan, mereka menyerukan tercapainya beberapa tujuan berikut:

1.  Pengurangan dan pembersihan polusi.

2. Mengkonversi materi yang tidak bisa didaur-ulang menjadi energi bersih melalui pembakaran langsung atau dikonversi kembali menjadi bahan bakar alternatif.

3.  Pengurangan konsumsi masyarakat atas bahan bakar minyak yang tidak bisa diperbarui.

4. Pengembangan sumber-sumber energi alternatif yang lestari, berkarbon rendah, atau dapat diperbarui.

5. Konservasi dan pelestarian pemanfaatan sumber daya langka seperti air, tanah, dan udara.

6. Perlindungan ekosistem yang mewakili, unik, atau asli.

7. Pelestarian spesies yang terancam punah.

8. Pembuatan suaka alam dan biosfir dalam berbagai bentuk perlindungan.

9. Perlindungan keragaman hidup (biodiversity) dan ekosistem demi saling ketergantungan hidup di bumi.





Kondisi Nyaman bagi Berkembangbiaknya Ulat Bulu



Beberapa spesies lepidoptera memperlihatkan fluktuasi populasi yang nyata dan sinkron terhadap wilayah geografis yang luas. Hal ini ditengarai sebagai akibat perubahan iklim yang berperan besar dalam hal waktu dan timbulnya kejadian perubahan populasi tersebut. Dengan semakin jarangnya turun hujan, telur-telur bisa menetas menjadi larva untuk kemudian berkembang menjadi kepompong dan bermetamorfosis menjadi kupu-kupu pada akhirnya.

Cuaca yang semakin panas semakin memanjakan lepidoptera untuk berkembang biak lebih banyak. Di iklim yang semakin panas, siklus hidup lepidoptera semakin pendek dari satu generasi ke generasi berikutnya. Beberapa spesies (seperti Orgyia leucostigma, Lymantriidae) bisa memiliki 2 generasi dalam 1 tahun, atau minimal 1 generasi dalam 1 tahun.

Sebagai serangga, lepidoptera betina bisa menghasilkan telur dari beberapa butir saja sampai ribuan butir. Untuk menjadi larva, telur membutuhkan waktu antara 5-7 hari. Usia hidup larva sampai kupu-kupu bervariasi, yakni dari 2 minggu sampai 7 tahun (khususnya Gynaephora groenlandica). Ada fase kepompong yang hanya berusia 1 minggu saja, 2 minggu (seperti kupu-kupu monarki), 10 bulan, atau lainnya. Di sisi lain, kupu-kupu bisa bertahan hidup antara 4-5 hari.

Khusus di wilayah Indonesia, siklus hidup lepidoptera adalah 4-7 minggu. Sebagai makhluk hidup berdarah dingin, udara yang semakin hangat membuat kondisi dan lingkungan hidup mereka semakin bersahabat untuk berkembang biak. Hal ini ditengarai sebagai faktor pemercepat siklus hidup mereka menjadi hanya 4 minggu.

Sebagai serangga bersayap, lepidoptera memiliki kemampuan yang tinggi untuk bermigrasi ribuan kilometer ke tempat yang memberikan kenyamanan hidup dengan kecepatan sampai 100 km per jam pada ketinggian ratusan meter. Kecepatan terbang mereka disesuaikan dengan arah dan kecepatan angin.

Kelembaban hutan pohon mangga merupakan tempat tujuan utama dari migrasi yang dilakukan lepidoptera. Deforestasi hutan alami dan homogenisasi hutan juga ditengarai membantu menghilangkan kondisi-kondisi yang tidak nyaman bagi lepidoptera untuk berkembang biak.

Membludaknya jumlah ulat bulu berpotensi membawa kerusakan pada beberapa tanaman seperti mangga, jambu air, jambu mete, alpokat, kedondong, tomat, padi, gula bit, tebu, kapas, tembakau, tanaman akar dan daun, pohon kayu, pohon kenanga, dan cemara. Kerusakan biasanya terjadi pada daun, cabang, akar, atau buah. Kain wol, sutra, bulu binatang (fur), bulu unggas (feather) banyak dimakan jamur ngengat (fungus moth). Ngengat lilin (wax moth, Galleria mellonella) bisa merusak sarang lebah.





Rantai Makanan, Musuh Alami, dan Kondisi Buruk bagi Ulat Bulu



Tubuhnya yang lunak dan rentan membuat lepidoptera merupakan mangsa empuk bagi pemangsanya. Sebagai herbivora, ulat bulu merupakan mangsa utama karnivora terendah yang berfungsi sebagai predator tingkat pertama. Dalam siklus hidupnya, lepidoptera juga merupakan mangsa burung nazar (vulture, scavenger) dan parasit.

Bagan–4. Parasitisme di Ngengat Gipsi

Sumber : Wikipedia



Makhluk kecil lainnya seperti protozoa, bakteri, virus, jamur, dan cacing tanah, merupakan predator ulat bulu pada masa-masa membludaknya jumlah populasi ulat bulu. Beberapa organisme ini dimanfaatkan manusia sebagai alat untuk mengendalikan spesies yang sedang bermasalah.

Beberapa jenis predator lepidoptera mencakup kelelawar, kutilang, perenjak, jalak, capung, belalang sembah atau walang keke (mantid), laba-laba, lipan, kadal, ampibi (kodok), tikus, monyet. Beberapa jenis hewan yang bersifat parasit bagi lepidoptera mencakup tawon, lebah, kumbang kepik (cynipid), ichneumon (lalat, lebah, musang/mongoose), chalcid (lalat, lebah), lalat tachinid, lalat gergaji, kroto/semut rangrang.

Hewan parasit bagi lepidoptera adalah dengan meletakkan telurnya di dalam, di atas, di dekat lepidoptera. Larva parasit hidup didalam tubuh inangnya dan secara perlahan memakan jaringan tubuh lepidoptera dan keseluruhan tubuh lepidoptera. Beberapa ulat bulu bisa mengusir sang parasit dengan mengeluarkan cairan beracun, tetapi banyak yang tidak memiliki mekanisme pertahanan diri tersebut. Hal ini bisa dijelaskan dengan tingginya tingkat reproduksi lepidoptera.

 



Mengembalikan Keseimbangan Alam Pada Kehidupan Ulat Bulu



Gangguan pada rantai makanan dan ekosistem ulat bulu biasanya akan hilang dengan sendirinya. Hal ini disebabkan oleh premis umum bahwa suatu rantai makanan dan ekosistem bersifat homeostatis. Keseimbangan alam akan terjadi dengan sendirinya. Alam akan dan dapat menyesuaikan dirinya, bahkan tanpa intervensi manusia. Hukum deterministik yang berlaku menyatakan bahwa jumlah populasi sangat tergantung sumber makanannya.

Walau demikian, masyarakat awam cenderung naif terhadap hukum alam. Mereka ingin secepatnya menghilangkan dan menghentikan wabah serangan ulat bulu. Tidaklah mungkin bagi kita untuk memusnahkan ulat bulu dengan tangan kosong, mengumpulkannya satu per satu, atau menyemprotnya dengan api. Menjebak mereka dengan memasang feromon sebagai umpan juga kurang efektif untuk mengatasi ribuan lepidoptera dewasa.

Penyemprotan dengan pestisida (chlorinated hydrocarbons) juga tidak dibenarkan karena sifat dan derivatifnya yang menetap pada tempat penyemprotan, tetap aktif secara biologis dan terakumulasi dalam rantai makanan dan keturunannya. Pestisida yang dilarang mencakup DDT, aldrin, dieldrin, endrin, HCH (Lindane). Indonesia merupakan salah satu negara Penandatangan Etika Pestisida FAO (International Code of Conduct on the Distribution & Use of Pesticides 2005).

Solusi jangka pendek dan jangka menengah atas fenomena serangan ulat bulu adalah dengan memasukkan kembali musuh alaminya ke dalam habitat dan ekosistem yang menjadi tempat hidup ulat bulu. Pada fase serangan ulat bulu yang merebak di banyak tempat, musuh alaminya terdiri dari makhluk kecil bernama protozoa, bakteri, virus, jamur, dan cacing tanah.

Musuh alami lepidoptera pada fase ulat bulu dan kupu-kupu yang bersifat predator mencakup kelelawar, kutilang, perenjak, jalak, capung, belalang sembah atau walang keke (mantid), laba-laba, lipan, kadal, ampibi (kodok), tikus, monyet. Musuh alami ulat bulu pada masa kepompong dan telur adalah hewan yang bersifat parasit bagi lepidoptera seperti tawon, lebah, kumbang kepik (cynipid), ichneumon (lalat, lebah, musang/mongoose), chalcid (lalat, lebah), lalat tachinid, lalat gergaji, kroto/semut rangrang.

Dalam jangka panjang, pemerintah bersama masyarakat dan pengusaha harus tetap mempertahankan dan melestarikan keanekaragaman hayati (biodiversity) dalam rangka menjaga rantai makanan dan ekosistem demi tetap terciptanya keseimbangan alam sejati.

Di sisi lain, perhatian terhadap pengurangan emisi gas karbondioksida dan penyerapan gas karbondioksida di udara perlu ditingkatkan dan diterapkan secara bersama. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka mengurangi fenomena pemanasan global terhadap suhu permukaan dan atmosfir bumi.





Kesimpulan



Ulat bulu yang berdarah dingin membutuhkan udara hangat untuk bisa berkembang biak. Udara yang hangat, kondisi yang nyaman, dan tanpa musuh alami yang berarti, bisa menjelaskan meledaknya jumlah populasi ulat bulu di hutan yang homogen, yakni hutan pohon mangga.

Berbagai kondisi yang nyaman ini ditengarai sebagai faktor pemercepat siklus hidup ulat bulu (yang menyerang Probolinggo) menjadi hanya 4 minggu. Bentuknya yang ringkih dan rentan (untuk dijadikan mangsa) membuat ulat bulu (dan berbagai bentuk lain dalam siklus hidupnya) merupakan alasan sebab-akibat mereka bisa berkembang biak dengan cepat.

Sebagai serangga bersayap, bentuk lain dari ulat bulu, lepidoptera mampu bermigrasi hingga ribuan kilometer ke tempat yang memberikan kenyamanan hidup dengan kecepatan sampai 100 km per jam pada ketinggian ratusan meter. Fakta ini bisa menjelaskan percepatan meluasnya wabah ulat bulu di berbagai wilayah di Indonesia dalam waktu singkat.

Di sisi lain, berbagai fenomena alam yang diobervasi memperlihatkan kondisi bumi yang semakin panas. Bumi yang hidup dan merasa panas, bereaksi dengan sendirinya, dengan melumerkan es dan salju abadi yang terdapat di kutub-kutub bumi dan di berbagai permukaan tertinggi di dunia. Metana dan karbondioksida yang dilepas dari salju yang mencair menambah konsentrasi gas penyimpan panas di udara.

Mekanisme lain dari pendinginan yang dilakukan bumi adalah dengan menutupi sinar matahari yang masuk ke atmosfir bumi. Hal ini pernah terjadi dan ditengarai akibat letusan gunung api maha dahsyat yang pernah terjadi beberapa kali di Indonesia seperti letusan Gunung Toba, Tambora, dan Krakatau.





Saran



Pada hutan yang homogen, perlakuan berbagai pestisida dan insektisida bisa sangat menekan hama yang mengganggu tanaman tersebut secara langsung. Rantai makanan pada hubungan mangsa-predator yang tidak seimbang berdampak pada ledakan populasi yang tidak memiliki musuh alami. Kondisi ini bisa dicegah dengan tetap memperhatikan keanekaragaman hayati.

Bumi ini yang hidup berserta segala makhluk hidup yang ada akan terus mengalami evolusi dan menciptakan keseimbangan alam yang baru. Manusia yang berada di puncak rantai makanan berperan sangat penting terhadap terjadinya evolusi. Dalam aktivitas hidupnya, manusia justru menyebabkan ‘gangguan yang signifikan’ terhadap keseimbangan alam, yakni dengan menambah panas udara di bumi melalui emisi karbondioksida.

Pemerintah bersama masyarakat dan pengusaha seharusnya memberikan perhatian lebih terhadap pengurangan emisi gas karbondioksida dan penyerapan gas karbondioksida di udara. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka mengurangi fenomena pemanasan global terhadap suhu permukaan dan atmosfir bumi. Di sisi lain, keanekaragaman hayati (biodiversity) dalam rangka menjaga rantai makanan dan ekosistem demi tetap terciptanya keseimbangan alam sejati tetap perlu dipertahankan dan dilestarikan.





Referensi



Capinera, John L., Butterflies and moths, Encyclopedia of Entomology, 4 (2nd ed.), Springer, 2008, pp. 626–672.



Cavalier-Smith, Thomas, A revised six-kingdom system of life, Biological Reviews, 73(03), 1998, 203–66.



Cavalier-Smith, Thomas, Only six kingdoms of life, Proc. R. Soc. Lond., B 271, 2004, 1251–62.



Egerton, Frank N., A History of the Ecological Sciences, Part 31: Studies of Animal Populations during the 1700s, Contributions, Bulletin of the Ecological Society of America, April 2009.



Fuester, Roger W., et al, Host Range of Aphantorhaphopsis samarensis (Diptera: Tachinidae), a Larval Parasite of the Gypsy Moth (Lepidoptera: Lymantriidae), Environ. Entomol. 30(3): 605-611, 2001.



Intergovernmental Panel on Climate Change, "Summary for Policymakers", Climate Change 2007, Synthesis Report, IPCC’s Fourth Assessment Report (AR4), Valencia, Spain, 27.11.2007.



Intergovernmental Panel on Climate Change, Climate Change 2007, Synthesis Report, IPCC’s Fourth Assessment Report (AR4), Valencia, Spain, 27.11.2007.



Jacobs, Tom, Belief in Balance of Nature Hard to Shake, Miller-McCune, 27.12.2007.



Lepidoptera, Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Lepidoptera, 18.04.2011.



Lepidopteran, Encyclopædia Britannica, 2011, http://www.britannica.com/EBchecked/topic/ 336811/lepidopteran, 27.04.2011.



Mallet, Jim, Taxonomy of Lepidoptera: the scale of the problem, The Lepidoptera Taxome Project, University College, London, 12.06.2007.



Palmer, Colin, Current PEFC Statement on Pesticide Use, 15.04.2010.



Reynolds, Lindsay V., et al, Climatic effects on caterpillar fluctuations in northern hardwood forests, Canadian Journal of Forest Research. CJFR #06-12, 17.07.2006.



Steinfeld, H., et al, Livestock's long shadow, FAO, 2006.



Straight Chain Lepidopteran Pheromones (SCLPs), Unit E.3 - Chemicals, contaminants, pesticides, Directorate E – Safety of the food chain, Health and Consumers Directorate-General, European Commission, Sanco/2633/08 – rev. 2, 28.10.2008.



The Ottawa Citizen, Study of Ocean Life Shows a Chaotic Balance of Nature, canada.com, 13.02.2008.

_________________________________________
Makalah ini telah dipresentasikan di Seminar Nasional Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk Pembangunan Berkelanjutan di Hotel Madina, Medan, pada tanggal 19 -20 Mei 2011.